PRINSIP PRINSIP AQIDAH


PRINSIP PRINSIP AQIDAH


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Adapun  Acuan Teoritik pada pembahasan ini adalah  sebagai berikut:

A.       Pengertian Prinsip-Prinsip Aqidah Islam

Kata Prinsip menurut kamus besar bahasa Indonesia, prinsip adalah asas, dasar, etika, hakikat, pokok, rukun, sendi[1] yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya. Intinya adalah dasar.

Aqidah ( العقيدة ) menurut bahasa Arab berasal dari kata Al 'Aqdu yang berarti ikatan, At Tautsiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, Al Ihkamu yang berarti mengokohkan (menetapkan), dan Ar Rabthu Biquwwah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah (terminology) yang umum aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang mengimaninya.[2]

Sedangkan kata Aqidah menurut Hasan Al Banna menjelaskan bawassannya aqa`id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keragu raguan.[3]

Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza’iri mengatakan bahwa aqidah adalah serangkaian kebenaran aksiomatik yang dapat diterima akal sehat, pendengaran, fitrah dan diyakinin dalam hati manusia, dipastikan kebenaran dan keberadaannya di yakini secara otomatis kebalikannya tidak benar dan sama sekali tidak ada.[4] Kebenaran itu dipatrikan dalam hati serta diyakini kebenarannya dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan hal tersebut. Abu Fati`ah al adnani dan Abu Ammar berpendapat bahwa aqidah adalah apa saja yang di yakini (dengan hati) oleh seseorang.  Jika dikatakan “Dia aqidahnya benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan.[5]

Aqidah merupakan salah satu perkara yang besar dalam agama Islam makan kedudukannya dalam Islam bagai akar pohon sehingga Seorang muslim hendaknya memperhatikan betul perkara ini. Syekh Abdul razaq bin Abdul Muhsin Al Badar menjelaskan bahwa aqidah ialah keyakinan dalam jiwa yang dapat menjadikan hati lebih baik dan dan jiwa menjadi kokoh yang dapat membuahkan dan membentuk perangai yang baik, kesempurnaan amaliyah, ketekunan dalam melaksanakan ibadah dan menjalankan perintah Allah SWT.

Aqidah menempati posisi terpenting dalam ajaran Islam. Ia ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. bila aqidah seseorang rusak, rusak pula seluruh bangunan Islam yang ada di dalam dirinya. bila aqidahnya runtuh, runtuh pula seluruh bangunan keislamannya. Bahkan bagian-bagian Islam yang berupa Syariat, Mu'amalah dan akhlak tak mungkin dapat ditegakkan dalam masyarakat Muslim sebelum akidah mereka lurus dan mengakar kuat di hati Sanubari. Aqidah sangat menentukan tegaknya syariat Islam dan akhlak kaum muslimin. Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya "Islam dibangun di atas lima pilar: 1) bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, 2) menegakkan salat 3).mengeluarkan zakat, 4). menunaikan ibadah haji dan 5 puasa di bulan Romadhan.[6]

Kemudian terdapat beberapa istilah dalam kamus tentang akar kata Islam. Secara umum kata ini mempunyai dua kelompok makna dasar yaitu Selamat, bebas, terhindar, terlepas dari, sembuh, meninggalkan. Bisa juga berarti; Tunduk, patuh, pasrah, menerima. Kedua kelompok makna dasar ini saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain. Salima juga berarti murni seperti dalam ungkapan “salima lahu asy-sya” artinya sesuatu itu murni milik/untuknya. Artinya bebas dari persekutuan dengan orang lain. Dalam kaitan ini aslama juga berarti memurnikan kepatuhan hanya kepada Allah swt. Adapun pengertian Islam secara terminologi akan kita jumpai rumusan yang berbeda-beda. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan mengajak mereka untuk memeluknya. Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul.[7]

kata Islam secara bahasa berarti kedamaian dan keselamatan, yang dipakai juga untuk arti agama Islam[8]. kata Islam merupakan turunan dari kata assalmu, as-salamu, atau as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan lahir dan batin. Islam berarti suci, bersih tanpa cacat. Islam berarti “menyerahkan sesuatu”. Islam adalah memberikan keseluruhan jiwa raga seseorang kepada Allah SWT, dan mempercayakan jiwa raga seseorang kepada Allah semata. Makna lain dari turunan kata Islam adalah “damai” atau “perdamaian” (al-salmu/ peace) dan “keamanan”. Dalam hal ini, Islam adalah agama yang mengajarkan kepada pemeluknya, orang Islam, untuk menyebarkan benih kedamaian, keamanan, dan keselamatan untuk diri sendiri, sesama manusia (Muslim dan nonMuslim) dan kepada lingkungan sekitarnya (rahmatan lil’alamin). Perdamaian, Keamanan dan keselamatan ini hanya dapat diperoleh jika setiap Muslim taat dan patuh, mengetahui dan mengamalkan aturan-aturan, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT yang dijelaskan dalam sumber ajaran agama, yaitu kitab Allah (al-Qur"an) dan sunnah Rasul (al-Hadist).[9]

Islam adalah agama wahyu yang diyakini dan dianut kebanyakan ummat manusia dari berbagai etnis dan suku bangsa. Perbedaan warna kulit dan bahasa tidak menjadi masalah karena semuanya merujuk pada satu azas yang telah disepakati yaitu Al-Quran sebagai satu-satunya kitab suci dan dijelaskan dengan Sunnah Nabawiah sebaga interpretasinya. Kedua konsep ini menjadi sumber hukum dan pedoman hidup setiap muslim baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat dan bernegara. Inilah yang dimaksud dengan Muslim Kaffah atau muslim paripurna yang selalu mengaplikasikan kedua azas tadi dalam setiap aktifitas hidupnya.[10]

 Islam adalah sebuah agama hukum (religion of law). Hukum agama diturunkan oleh Allah SWT, melalui wahyu yang disampaikan  kepada Nabi Muhammad saw., untuk dilaksanakan oleh kaum  Muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dikurangi sedikitpun. Dengan demikian, watak dasar Islam adalah pandangan yang serba normative dan orientasinya yang serba legal formalistik. Islam haruslah diterima secara utuh, dalam arti seluruh hukum-hukumnya dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan.[11]

Prinsip aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk.

Prinsip-prinsip akidah secara keseluruhan tercakup dalam sejumlah prinsip dari seluruh sistem agama Islam yaitu suatu sistem yang serasi, koheren, dan terjalin dengan baik. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

a.  Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Esa dalam Zat, Sifat, dan Perbuatan-Nya.

b.  Pengakuan bahwa para nabi telah diangkat dengan sebenarnya oleh Allah SWT. Untuk menuntun ummatnya.

c.  Kepercayaan akan adanya hari kebangkitan. Keyakinan seperti ini memberikan kesadaran bahwa kehidupan dunia bukanlah akhir dari segalanya.

d.  Keyakinan bahwa Allah adalah Maha Adil. Jika keyakinan seperti ini tertanam di daalam hati, maka akan menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian prinsip-prinsip aqidah Islam adalah pokok-pokok dasar atau asas dalam berdindak, bertingkah laku dan berfikir dalam meyakini kebesaran Allah SWT, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasulnya, hari kiamat dan qadha dan qadarnya Allah SWT.

B.  Dasar Aqidah Islam

Dalam kamus Bahasa Indonesia kata dasar memiliki arti bagian yg terbawah, menjadi lapisan yang paling bawah, pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan) asas.[12]

Kata dasar menurut Chaer yaitu sebuah satuan bebas yang dapat berdiri sendiri, dan terjadi dalam morfem tunggal, contohnya seperti pergi, rumah, buku. Jadi sebuah kata dasar ini merupakan sebuah kata yang dapat berdiri sendiri dan dapat membentuk sebuah makna yang utuh.[13]

Sejatinya agama Islam merupakan kesatuan antara akidah, syariat, dan akhlak. Landasan akidah islam adalah keimanan teguh kepada Allah, para malaikat-nya, kitab-nya, segenap rasul-nya, hariakhir, dan beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Dasar dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 177:

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ...

 

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada  Allah, hari kemudian, para Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah : 177).[14]

 

Adapun Kosa kata surat al baqarah 177 adalah

قِبَلَ

وُجُوهَكُمۡ

تُوَلُّواْ

أَن

ٱلۡبِرَّ

لَّيۡسَ

Kearah

Wajahmu

Kamu Menghadapkan

Bahwa

Kebaikan/Kebaktian

Bukanlah

ءَامَنَ

مَنۡ

ٱلۡبِرَّ

وَلَٰكِنَّ

وَٱلۡمَغۡرِبِ

ٱلۡمَشۡرِقِ

Dia Beriman

Siapa/orang

Kebaikan/Kebaktian

Akan Tetapi

Dan Barat

Timur

وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ

وَٱلۡكِتَٰبِ

وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ

ٱلۡأٓخِرِ

وَٱلۡيَوۡمِ

بِٱللَّهِ

dan Nabi-Nabi

dan Kitab

dan malaikat

akhirat

dan hari

dengan/kepada Allah

Ayat ini mengandung garis-garis besar dan kaidah yang sangat dalam tentang aqidah yang lurus. Ketika pada awalnya Allah menyuruh kaum mukminin menghadap arah baitul makdis, kemudian mengalihkan mereka kearah ka’bah, hal itu terasa berat bagi sebagian ahli kitab dan Sebagian kaum muslimin, maka Allah lantas menurunkan keterangan hikmahnya, bahwa pengertian ibadah dan kebaikan ialah taat dan patuh kepada Allah, menuruti perintahnya dan menjauhi larangannya menghadap kearah mana saja yang diperintahkan olehnya, dan mengikuti apa yang disyariatkan Allah, itulah yang dimaksud kebaikan, taqwa dan iman yang sempurna. Aidh al-Qarni mengatakan permasalahan utama dari pendidikan yaitu perhatian terhadap masalah-masalah pendidikan tauhid (keimanan); bagaimana kita akan menghubungkan keimanan dengan hati manusia, sebab berbicara tentang perilaku sebelum keimanan tidaklah berguna.[15]

Agama Islam sebagaimana telah disebutkan, mencakup aqidah dan syari’ah. Dan telah kami tunjukan sedikit tentang syari’atnya dan telah kami kemukakan rukun-rukunnya yang dianggap sebagai dasar syari’atnya. Adapun aqidah Islam, maka dasar-dasarnya ialah iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan takdir buruk. Dalam sunnah Rasulullah SAW, Beliau bersabda Ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang arti Iman: Iman ialah kamu beriaman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir dan kamu beriman kepada qadar baik dan qadar/takdir buruk (HR Muslim).

Akidah adalah fondasi dan akar yang menjadi substansi beragama. kesatuan pemahaman akidah menurut Al-Qur'an dan fu-sunnah addah sebuah keniscayaan. Ulama terdahulu mengupayakan penjelasan dan pemahaman yang bermuara pada keseragaman keyakinan berdasarkan Al-Qur'an dan fu-sunnah. tidak terkecudi juga keempat imam madzhab fikih Islam, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imamfuy-Syafe'i, dan Imam Ahmad.[16]

Adapun Dasar Aqidah Islam diantaranya sebagai berikut:

1.    Iman Kepada Allah SWT

Iman kepada Allah adalah suatu keyakinan yang mantap dan menghujam bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu, pemilik dan pengaturnya, menciptakannya, memberi rezeki, mematikan dan menghidupkan.[17]

Beriman kepada Allah SWT artinya adalah berikrar dengan macam-macam tauhid yang 3 serta ber I’tiqad dan beramal dengannya, yaitu a) tauhid rububiyah b) Tauhid uluhiyah c) tauhid asma wa sifat.[18]

Tauhid rububiyah berarti mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah SWT, baik mencipta, memberi Rizki menghidupkan dan mematikan serta mengimani bahwasanya dia adalah raja, Penguasa, dan Rabb yang mengatur segala sesuatu. Hal ini sesuai dengan berfirman Allah SWT:

a). QS. Al A'raf ayat 54

 أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ 

Artinya:“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. Al A'raf:54)

 

b) QS. Fathir ayat 13

..ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۚ وَٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمۡلِكُونَ مِن قِطۡمِيرٍ 

Artinya:”Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari”.(QS. Fathir: 13)

 

c) QS. Az-Zumar ayat 62

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ 

Artinya:”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”.(QS. Az-Zumar:62)

 

 d) QS. Hud ayat 6

 

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ 

Artinya: ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”.(QS. Hud: 6)[19]

Imam Ibnul Qayyim r.a berkata seandainya keimanan kepada tauhid rububiyah ini saja dapat menyelamatkan, maka tentunya orang-orang musyrik telah diselamatkan akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan kepada Tauhid uluhiyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan orang-orang yang mentauhidkan Allah SWT.

Dengan demikian, tidaklah setiap orang yang menetapkan Bahwasanya Allah ta'ala sebagai Rabb segala sesuatu dikatakan sebagai orang yang mentauhidkan Allah dalam uluhiyah Nya serta dalam nama-nama dan sifat-sifatnya. Sebab kebanyakan dari para hamba-nya tidak mengingkari Allah sebagai pencipta serta tidak mengingkari sifat rububiyah Nya namun sebagian besar hubungan mereka disebabkan karena mereka menyembah kepada selain Allah.[20]

Beriman kepada adanya Allah SWT.-Wujudnya Allah SWT benar-benar dapat ditunjukan oleh fitrah, syara’, akal, dan rasa. Adapun dalil fitrah atas wujud-Nya ialah bahwa segala makhluk telah diciptakan atas dasar iman kepada penciptanya  tanpa dipikirkan dan diajarkan terlebih dahulu. Hanya orang yang hatinya kedatangan hal-hal yang dapat merubah fitrah itulah orang yang berpaling dari tuntutan fitrah ini, karena Nabi SAW mengatakan: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikan dan menasranikan atau memajusikanya (HR Bukhari).

Adapun dalil akal atas wujudnya Allah SWT ialah karena makhluk ini, baik yang terdahulu maupun yang akan menyusul harus ada pencipta yang mengadakannya. Sebab tidak mungkin makhluk tersebut mengadakan dirinya sendiri dan tidak mungkin terjadi secara kebetulan.

2.    Iman Kepada Malaikat

Beriman kepada malaikat adalah keyakinan yang mantap bahwasanya Allah memiliki Malaikat yang diciptakan oleh-Nya dari cahaya. Mereka adalah makhluk yang sangat mulia dan selalu taat kepadaNya. Mereka juga tidak bermaksiat kepada Allah dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.[21]

Menurut ilmu bahasa Arab (lughawi), kata “malaikah” merupakan kata jamak dari kata “malak” yang berarti kekuatan, yang berasal dari kata mashdaralalukah”, yang berarti risalah atau misi.[22]

Malaikat adalah alam ghaib, makhluk, dan hamba Allah. Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyyah. Allah menciptakan malaikat dari cahaya dan memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu.

Malaikat adalah makhluk allah yang besar seperti disebut dalam ayat-ayat al-quran dan hadis-hadis nabi saw wae yang sahih contoh sifat para malaikat yang memiliki 'Arsy, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ 

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim:6)[23]

 

Kosa kata surat At Tahrim ayat 7

 

وَأَهۡلِيكُمۡ

أَنفُسَكُمۡ

قُوٓاْ

ءَامَنُواْ

ٱلَّذِينَ

يَٰٓأَيُّهَا

Dan Keluargamu

Diri Kalian Sendiri

Peliharalah

Beriman

Orang-Orang Yang

Wahai

مَلَٰٓئِكَةٌ

عَلَيۡهَا

وَٱلۡحِجَارَةُ

ٱلنَّاسُ

وَقُودُهَا

نَارٗا

Malaikat

Atasnya

Dan Batu-Batu

Manusia

Dan Bahan Bakarnya

Api/Neraka

مَآ

ٱللَّهَ

يَعۡصُونَ

لَّا

شِدَادٞ

غِلَاظٞ

Apa

Allah

Mereka Mendurhakai

Tidak

Yang Keras

Yang Kasar

 

 

يُؤۡمَرُونَ

مَا

وَيَفۡعَلُونَ

أَمَرَهُمۡ

 

 

Mereka Diperintahkan

Apa

Dan Mereka Mengerjakan

Diperintahkannya Kepada Mereka

 

Iman kepada malaikat mengandung 4 unsur:

a)    mengimani wujud mereka

b)   mengimani nama-nama malaikat yang kita kenali, seperti jibril, mikail, israfil dan juga nama-nama malaikat lainnya yang sudah diketahui. Adapun malaikat-malaikat yang belum diketahui namanya, maka kita wajib mengi mandinya secara global.

c)    menemani sifat-sifat mereka yang kita kenali, seperti sifat bentuk Jibril,sebagaimana yang pernah dilihat oleh nabi saw yang mempunyai 600 sayap yang menutupi ufuk. Setiap malaikat mempunyai sayap sebagaimana firman Allah SWT:

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ جَاعِلِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا أُوْلِيٓ أَجۡنِحَةٖ مَّثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۚ يَزِيدُ فِي ٱلۡخَلۡقِ مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ 

Artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Fathir:1)[24]

 

Kosa kata surat At Tahrim ayat 7

 

جَاعِلِ

وَٱلۡأَرۡضِ

ٱلسَّمَٰوَٰتِ

فَاطِرِ

لِلَّهِ

ٱلۡحَمۡدُ

Yang Menjadikan

Dan Bumi

Langit(Jamak)

Pencipta

Bagi Allah

Segala Puji

وَثُلَٰثَ

مَّثۡنَىٰ

أَجۡنِحَةٖ

أُوْلِيٓ

رُسُلًا

ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ

Dan Tiga

Dua

Sayap

Mempunyai

Utusan

Malaikat

يَشَآءُۚ

مَا

ٱلۡخَلۡقِ

فِي

يَزِيدُ

وَرُبَٰعَۚ

yang Dia kehendaki

apa

ciptaan

dalam

Dia menambahkan

dan empat

قَدِيرٞ

شَيۡءٖ

كُلِّ

عَلَىٰ

ٱللَّهَ

إِنَّ

Maha Kuasa

sesuatu

segala

atas

Allah

sesungguhnya

 

Adapun sifat-sifat Malaikat Allah yang wajib diimani dan diteladani:

a)      Ketaatan dan kedisiplinan

Sikap ketaatan dan kedisiplinan ini semestinya men]adi nilai panutan (qudwah) untuk diteladani oleh manusia. Seorang yang beriman kepada malaikat, dengan pendekatan spiritualnya, akan senantiasa meneladani sikap-sikap positif yang dicontohkan malaikat.

b)      Pengendalian diri dari perilaku negatif

Krisis moral yang paling utama yang melanda diri manusia secara umum sebenarnya adalah menipisnya keimanan kepada alam ghaib. Kondisi ini menyebabkan manusia lepas kendali, bebas nilai, dan berbuat seenaknya tanpa ada rasa bersalah. Kalaupun ada kendali, hal itu hanya sebatas pada nilai-nilai yang dibuats endiri dan bersifat relatif (nisbi)

c)      Rasa tanggung jawab

Konsep pendidikan Islam menempatkan nilai responsibilitas/rasa tanggung jawab (syu'urbil mas'uliyyah) sebagai dasar sistem pendidikan rohaniah, dengan dasar bahwa kesadaran akan adanya tanggung jawab yang tertanam dalam hati nurani manusia memberikan pengaruh penting dalam pembinaan pribadi individu dan masyarakat.[25]

d)      Mensucikan pujian kepada Allah Swt.

Para malaikat senantiasa mensucikan pujian kepada Allah Swt. sebagai Rabb mereka dan memohon ampunan bagi manusia yang berada di bumi. Mereka adalah mahluk yang paling ikhlas terhadap Bani Adam (Al-Fauzan, 2010. hlm. 33). Sifat malaikat yang selalu mensucikan pujian kepada Allah Swt. ini terungkap dalam QS. Ali Imran (3): 18.“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

e)      Senantiasa mengajak kepada kebajikan

Malaikat sebagai utusan Allah Swt. yang selalu taat kepada-Nya, senantiasa menyeru manusia kepada kebaikan. Sebagaimana diungkap dalam firman Allah Swt. dalam QS. Huud (11): 81.

Para utusan (malaikat) berkata: "Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?".[26]

 

3.    Iman Kepda  Kitab

Iman kepada kitab-kitab Allah adalah membenarkan dengan keyakinan yang kuat bahwasanya Allah memiliki kitab-kitab yang telah diturunkan kepada para nabi-Nya sebagai kalam yang sesungguhnya, tempat Allah berbicara menurut kehendakNya. Kitab-kitab itu adalah cahaya dan petunjuk yang penuh dengan kebenaran.[27]

Al kutub adalah bentuk jamak dari kata kitab yang berarti sesuatu yang ditulis namun yang dimaksud disini adalah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para rasulnya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah swt berfirman:

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ 

 

Artinya:“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.(QS. Al Hadid: 25)[28]

Iman kepada kitab-kitab mengandung 4 unsur:

a)    Menemani bahwasanya kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan dari Allah SWT

b)   Menemani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya seperti alquran yang diturunkan kepada nabi muhammad taurat yang diturunkan kepada nabi musa injil yang diturunkan kepada nabi isa zabur yang diturunkan kepada nabi daud dan suhuf ibrahim dan musa adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya maka kita menemaninya secara global.

c)    Membenarkan seluruh beritanya yang benar seperti berita-berita yang terdapat di dalam al-quran dan berita-berita dari kitab-kitab terdahulu sebelum diganti atau sebelum diselewengkan.

d)   Melaksanakan seluruh hukum yang tidak binasakh (dihapus) serta rela dan berserah diri kepada hukum itu baik kita memahami hikmahnya maupun tidak. Dan seluruh hitam terdahulu telah dinasakh oleh Al-Qur'anul karim Allah swt berfirman:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ

Artinya:“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, dan menjaganya…”(QS. Al Maindah:48)[29]

4.    Iman Kepada Para Rasul

 

Iman kepada rasul adalah membenarkan dengan teguh bahwasanya Allah telah mengutus rasul-Nya untuk memberi petunjuk kepada makhluk-Nya untuk kehidupan dunia dan akhiratnya. Rasul datang untuk mengajak seluruh manusia agar beribadah kepada-Nya semata dan mengingatkan manusia agar tidak terjerumus kepada kesyirikan dan kekufuran.[30]

 

Rusul adalah bentuk jamak dari rasul yang berarti mursal (utusan), yaitu yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Dan yang dimaksud di sini adalah manusia yang diberi wahyu dengan membawa syari’at dan diperintah oleh Allah SWT   untuk menyampaikannya. Dan rasul pertama ialah Nuh AS, sedangkan rasul terakhir adalah Muhammad SAW. Allah berfirman, yang artinya:  Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memeberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya …. (QS An-Nisa:163). Dan dalam sahih Bukhari dari Anas bin Malik RA dalam hadist tentang syafaat, bahwa Nabi SAW telah menyebutkan bahwa manusia itu nanti mendatangi Adam AS agar dia memberi syafaat kepada mereka. Lalu Adam mengajukan alasan kepada mereka seraya berkata: Datangi Nuh AS sebagai rasul pertama  yang  diutus oleh Allah SWT. Dan Nabi SAW menyebutkan kelengkapan hadist itu.  Allah SWT berfirman tentang Muhammad SAW yang artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi (Al-Ahzab:40). 

5.    Iman Kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir. Yang dimaksud dengan iman kepada hari akhir adalah beriman kepada semua yang dikabarkan oleh nabi tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman nanti dan kehidupan setelah mati, siksa dan kenikmatan di alam kubur, kebang-kitan di padang mahsyar, pemberian catatan amal, adanya mizan, shiraath, haudh, syafaat, neraka dan surga, baik secara terperinci maupun global.[31]

 

6.    Iman Kepada Takdir

Menurut Quraish Shihab, kata taqdir terambil dari kata qaddara berasal dari akar  kata قدر (qadar) berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika disebutkan,“Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar, ukuran, batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.[32] Firman Allah SWT berkaitan dengan takdir sebagai berikut:

1.    QS.Al Hadid ayat 22

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَاۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ 

 

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.(QS.Al Hadid ayat 22)

2. QS.Ar Rad ayat 8

 

اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنثَىٰ وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُۖ وَكُلُّ شَيْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ 

Artinya:”Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (QS.Ar Rad ayat 8)

3. QS. Al Qamar ayat 49-50

إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ  ٤٩ وَمَآ أَمۡرُنَآ إِلَّا وَٰحِدَةٞ كَلَمۡحِۢ بِٱلۡبَصَرِ  ٥٠

 

بِقَدَرٖ

خَلَقۡنَٰهُ

شَيۡءٍ

كُلَّ

إِنَّا

Dengan/Menurut Ukuran

Kami Menciptakannya

Sesuatu

Setiap

Sesunguhnya

 

 

Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata”. (QS. Al Qamar ayat 49-50)

 

4. QS. Al A’la ayat 3

وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ 

 

Artinya:”Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”. (QS. Al A’la ayat 3)

 

فَهَدَىٰ

قَدَّرَ

وَالَّذِي

Lalu Dia Memberi Petunjuk

Dia Menentukan

Dan Yang

 

 

 

 

Dapat dilihat ada tiga pengertian taqdir dari segi etimologi: pertama, taqdir merupakan ilmu yang amat luas meliputi segala apa yang ada terjadi pasti telah diketahui dan ditentukan sejak semula. Kedua, berarti sesuatu yang sudah di pastikan. Kepastian itu lahir dari penciptaannya di mana eksistensinya sesuai dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. Ketiga, taqdir berarti menerbitkan, mengatur, dan menentukan sesuatu menurut batas-batasnya di mana akan sampai sesuatu kepadanya,

 sebagainmana tercermin dalam Alquran surat Fusilat ayat 10[33]:

Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsamain dalam risalahnya "Nubdzah fi Al Aqidah Al-Islamiah" mengemukakan empat pokok iman terhadap qadar Allah SWT.

Pertama, meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu sekecil apapun, mengetahui peristiwa lampau dan yang akan terjadi, apapun yang kita perbuat Dia Maha Melihat. Kedua, mengimani bahwa Allah SWT telah menentukan segala sesuatu yang terjadi di “Lauh Al-mahfuzh.”Firman Allah SWT:

وَإِن مِّن قَرۡيَةٍ إِلَّا نَحۡنُ مُهۡلِكُوهَا قَبۡلَ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَوۡ مُعَذِّبُوهَا عَذَابٗا شَدِيدٗاۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡكِتَٰبِ مَسۡطُورٗا  ٥٨

Artinya:“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh)”.(QS Al-Isra’:58)

Ketiga, mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT, baik perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhluk-Nya. Firman Allah:

وَرَبُّكَ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخۡتَارُۗ مَا كَانَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُۚ سُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ  ٦٨

Artinya:“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”.( QS. Qhashas:68)

Keempat, mengimani bahwa Allah SWT menguasai seluruh kejadian dengan dzat-Nya, sifat-Nya dan gerakan-Nya. Firman Allah:

ٱلَّذِي لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيۡءٖ فَقَدَّرَهُۥ تَقۡدِيرٗا  ٢

Artinya: “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al- Furqan:)[34]

C.  Ruang lingkup Aqidah Islam

Menurut sistematika Hasan Al-Banna maka ruang lingkup Aqidah Islam meliputi : 1.  Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala susuatu yang berhubungan dengan Tuhan (Allah), seperti wujud Allah, sifat Allah dll 2.   Nubuwat,  yaitu pembahsan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah dll 3.    Ruhaniyat, yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti jin, iblis, setan, roh dll 4.    Sam'iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'i, yakni dalil Naqli berupa Al-quran dan as-Sunnah seperti alam barzkah, akhirat dan Azab Kubur, tanda-tanda kiamat, Surga-Neraka dsb.

 

D.  Fungsi, Tujuan dan Peranan Aqidah Islam.

1.    Fungsi Aqidah Islam

Sesuai dengan fungsinya sebagai dasar agama, maka keberadaan aqidah Islam sangat menentukan bagi seorang muslim, sebab dalam system teologi agama ini diyakini bahwa sikap, perbuatan dan perubahan yang terjadi dalam perilaku dan aktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh system teologi atau aqidah yang dianutnya. Untuk itu signifikansi akidah dalam kehidupan seseorang muslim dapat dilihat paling tidak dalam empat hal, yaitu:

a.    Aqidah Islam merupakan landasan seluruh ajaran Islam. Di atas keyakinan dasar inilah dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah (hukum islam) dan akhlaq (moral Islam). Oleh karena itu, pengamalan ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa, haji, etika Islam (akhlak) dan seterusnya, dapat diamalkan di atas bagunan keyakinan dasar tersebut. Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak akan memiliki makna apa-apa.

b.    Akidah Islam berfungsi membentuk kesalehan seseorang di dunia, sebagai modal awal mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara fungsional terwujud dengan adanya keyakinan terhadap kehidupan kelak di hari kemudian dan setiap orang mempertanggungjawabkan perbuatanya di dunia

c.    Akidah Islam berfungsi menyelamatkan seseorang dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang, seperti bid’ah, khurafat, dan penyelewengan-penyelewengan lainya.

d.    Akidah Islam berfungsi untuk menetapkan seseorang sebagai muslim atau non muslim. Begitu pentingnya kajian akidah islam hingga bidang ini telah menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak zaman awal Islam sampai hari ini, termasuk di Indonesia. Di dalam apresiasinya, kajian mengenai bidang ini melahirkan beberapa aliran, seperti Suni [ Maturidiyah, Asy’ariyah,-Ahlussunnah wal Jama’ah] Murjiah,Muktazilah,Wahabiyah, Syiah, Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah dan lain-lain.

2.    Tujuan Aqidah Islam

Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang teguh, yaitu: a. Untuk mengihlaskan niat dan ibadah kepada AllahI semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepadaNya.

b. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat di indera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.

c. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima takdir-Nya, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.

d. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.

e.Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik, kecuali digunakannya dengan mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al An’am : 132).

3. Peranan Aqidah Islam

Aqidah dapat dilihat peranannya dalam berbagai segi kehidupan seorang muslim serta memiliki, implikasi terhadap sikap hidupnya. Implikasi dari aqidah itu ara lain dapat dilihat dalam pembentukan sikap, misalnya: Penyerahan secara total kepada Allah dengan menjadikan sama sekali kekuatan dan kekuasaan di luar Allah yang dapat mendominasi dirinya. Keyakinan ini menumbuhkan jiwa merdeka bagi seorang muslim di tengah-tengah pergaulan hidupnya; tidak ada manusia yang menjajah manusia lain. Ia menjadi manusia yang merdeka, bebas dari perbudakan dalam segala dimensi kemanusiaannya.Harkat dan derajat manusia hanya ditentukan oleh kadar keimanan dan ketaqwaannya, seperti firman Allah:

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakiaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13).

Karena itu, Islam tidak mengenal kultur individu dan perhambaan antar manusia, apalagi perhambaan manusia terhadap makhluk lainnya. Keyakinan terhadap Allah, menjadikan orang memiliki keberanian untuk berbuat, karena tidak ada baginya yang ditakuti selain melanggar perintah Allah. Keberanian ini menjadikan seorang muslim untuk berbicara tentang kebenaran secara lurus dan konsekuen dan tegas berdasarkan aturan-aturan yang jelas diperintah Allah. Karena baginya kebenaran Allah adalah satu-satunya dan mutlak sifatnya. Karena itu umat Islam semestinya menjadi pelopor menegakkan kebenaran di muka bumi tanpa rasa kuatir dan gelisah. Keyakinan dapat membentuk rasa optimis menjalani kehidupan, karena keyakinan tauhid menjamin hasil yang terbaik yang akan dicapainya secara uhaniah, karena itu seorang muslim tidak pernah gelisah dan putus asa, ia tetap berkiprah dengan penuh semangat dan optimisme. Cobaan dan ujian merupakan proses hidup yang bersifat sementara yang menjadi pupuk penyubur keyakinan terhadap Allah. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS. 13:28) Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS. 13:28) Dengan demikian aqidah dapat berperan sebagai landasan etik bagi seorang uslim dalam menyikapi hidup dan kehidupannya di dunia dengan melihat hidup ini secara luas, yakni hidup di dunia dan hidup di akhirat. Keyakinan seperti ini mewujudkan sikap jiwa yang tenang dan damai yang merupakan dambaan setiap orang. Jiwa yang tenang ini pula yang akan mengantarkannya kepada kebahagiaan abadi, seperti firman Allah: Artinya : “Wahai jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaku dan masuklah ke dalam surgaKu”. (QS.89: 27-30) Lebih lanjut Sayid Sabiq memandang fungsi aqidah sebagai ruh bagi setiap orang. Hidup bernaung dan berpegang teguh kepadanya akan memperoleh gairah, semangat dan kebahagian, sementara hidup yang terlepas daripadanya akan terapung, melayang tanpa arah, dan bahkan mati semangat kerohaniannya. Aqidah adalah cahaya, yang apabila seseorang tidak memilikinya, ia akan buta dan pasti akan tersesat ke dalam liku-liku dan lembah kesesatan dan kenistaan. Ia adalah cahaya yang dapat memberikan jaminan kejelasan, keterang-benderangan, keselamatan dan kebahagiaan kepada orang yang bernaung di bawahnya. Ia adalah cahaya yang sangat kuat dan bersih, yang mampu menerobos dan menerangi segala aspek dan kebutuhan manusia. Ia adalah cahaya di atas segala cahaya, tidak akan ada lagi cahaya yang sebanding apalagi mengunggulinya.

E.  Tingkatan Aqidah Islam

Ditinjau dari segi kuat dan tidaknya, aqidah ini bisa dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu ragu, yakin, ainul yakin, dan haqqul yakin. Tingkatan ini terutama didasarkan atas sedikit banyak atau besar kecilnya potensi dan kemampuan manusia yang dikembangkan dalam menyerap aqidah tersebut. Semakin sederhana potensi yang dikembangkan akan semakin rendah aqidah yang dimiliki, dan sebaliknya. Empat tingkatan aqidah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Tingkat ragu (taklid), yakni orang yang beraqidah hanya karena ikuti-kutan saja, tidak mempunyai pendirian sendiri. 2) Tingkat yakin, yakni orang yang beraqidah atau sesuatu dan mampu menunjukkan bukti, alasan atau dalilnya, tapi belum mampu menemukan atau

merasakan hubungan kuat dan mendalam antara (madlul) dengan data atau bukti (dalil) yang didapatnya. Sehingga tingkat ini masih mungkin terkecoh dengan sanggahan-sanggahan yang bersifat rasional dan mendalam.) Tingkat a'inul yakin, orang yang beraqidah atau meyakini sesuatu secara rasional, ilmiah dan mendalam ia mampu membuktikan hubungan antara obyek (madlul) dengan data atau bukti (dalil). Tingkat ini tidak akan terkecoh lagi dengan sanggahan-sangahan yang bcrsifat rasional dan ilmiah.) Tingkat haqqul yakin, yakni orang beraqidah atau meyakini sesuatu, yang disamping mampu membuktikan hubungan antara obyek (madlul) dengan bukti atau data (dalil) secara rasional, ilmiah dan mendalam, juga mampu menemukan dan merasakannya melalui pengalaman-pengalamannya dalam pengamalan ajaran agama. Orang-orang yang telah memiliki aqidah pada tingkat ini tidak akan mungkin tergoyahkan dari sisi mana pun menyanggah atau mengganggunya, ia akan berani berbeda dengan orang lain sekalipun hanya seorang diri, ia akan berani mati untuk membela aqidah itu sekalipun tidak seorang pun yang mendukung atau menemaninya. Pada semua tingkatan aqidah di atas nampak peranan akal begitu dominan. Hal ini tidak berarti hanya akal satu-satunya. Keseluruhan aqidah Islam, sebagaimana juga halnya dengan semua hukum dalam syari'ah, pada dasarnya ditetapkan dan diatur oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul, di mana keduanya memberikan kedudukan yang sangat penting bagi akal kiran dalam menerima dan mengokohkan aqidah. Keduanya sangat memuliakan akal dengan menjadikannya sebagai sasaran perintah, sebagai tempat bergantungnya pertanggung jawaban dan menganjurkan agar memfungsikannya dengan sebaik-baiknya. Al-Quran Sering sekali menyebutkan berbagai fenomena ayat-ayat Allah kemudian ditujukan kepada akal agar mencerna, memikirkan, mengkaji dan menelitinya dengan kata-kata Laayatil liqaumil ya'qilun atau  yatafakkarun (bagi orang-orang yang - berakal/ berfirkir) atau kata-kata la'allakum  a'qilun (agar kamu berpikir), sebagaimana sering pula menegur orang-orang yang alai memperhatikan dan memikirkan ayat itu dengan kata-kata afalaa ta'qilun apakah kamu tidak berakal/berpikir).Allah berfirman : Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan”

QS. 2:164).

F.     Pentingnya Prinsip Aqidah Islam di Madrasah

Akidah di Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu mata pelajaran PAI yang  mempelajari tentang rukun iman yang dikaitkan dengan pengenalan dan penghayatan terhadap al-asma' al-husna, serta penciptaan suasana keteladanan dan pembiasaan dalam mengamalkan akhlak terpuji dan adab Islami melalui pemberian contoh-contoh perilaku dan cara mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Secara substansial mata pelajaran Akidah memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk manifestasi dari keimanannya kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta Qada dan Qadar. Maka dengan paket ini mahasiswa/mahasiswi sebagai calon guru materi aqidah diharapkan memiliki kemampuan untuk menjelaskan, dan mengajarkan : pengertian aqidah, fungsi dan peranan aqidah, tingkatan aqidah, dan analisis terhadap rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, Malaikat-malikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasulrasul Allah, hari Kiamat, dan Qadla dan Qadar Allah.

 

G.  Pemikiran Pemikiran Aqidah Islam

 

1.    Pemikiran Syaikh Abdurrahman Siddik

Pemikiran Syaikh Abdurrahman Siddik tentang Akidah merentang sejak konsep tentang hakikat syahadat sampai kepada hakikat ibadah dan ilmu yang lahir dari keimanan seseorang. Sebagai tokoh yang lama menempuh pendidikan di Timur Tengah (Mekkah dan Madinah) dan lama mengembara menyebarkan Islam di berbagai wilayah Nusantara, pemikiran Syaikh tergolong sangat unik. Keunikan itu, pertama, karena pemikiran Syaikh diungkapkan sebagiannya dalam bentuk syair dan ibarat. Pegungkapan semacam ini mengandung dimensi sastra yang cukup mendalam. Kedua, substansi pemikiran Syaikh tidak dapat dilepaskan dari aspek tasawuf yang memang menjadi wacana khas pemikiran Islam pada masanya.  Dari segi substansi, pemikiraan Syaikh tentang akidah dapat dilihat sebagai materi yang dapat memperkaya khazanah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) baik di sekolah maupun madrasah. Ia dapat digunakan sebagai supplemen  untuk melengkapi materi kurikulum PAI yang sudah baku dalam buku-buku teks yang ada saat ini.[35]

2.    Pemikiran Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang tokoh yang di dalam karya-karyanya banyak membahas tentang akhlak atau budi pekerti manusia. Hal ini dapat dilihat dari semua konsepnya tentang akhlak yang mana sejatinya Al-Ghazali memasukkan konsep-konsep aqidah di dalamnya.

3.                  Pemikiran Imam al-Syafi'i

Ketika Imam al-Syafi'i masa hayatnya, aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah belum muncul. Bagaimanapun, Imam al-Syafi'I dapat menyaksikan dan merujuk aliran-aliran akidah lainnya yang telah ada pada masanya seperti Syi'ah, Khawarij, Jabbari'ah, Qadariyyah, dan Murji'ah.Atas dasar fakta itu, satusatunya kemungkinan yang menjadi rujukan Imam al-Syafi’I dalam menentukan tema-tema teologinya adalah golongan Kalam seperti  Qadariyah dan Muktazilah. Sebagaimana terlihat dalam paparan, terkesan bahawa pandangan-pandangan akidah Imam al-Syafi’i, jelas berada pada jalur yang agak berbeza dari pandangan-pandangan akidah Muktazilah tetapi agak dekat dengan fahaman Asy’ariyah. Perhatikanlah table dibawah ini:

 

No

Aliran Akidah

 

Muktazilah

 

Imam Al-Syafi’i

 

Asy’ariyah

 

Bentuk Pemikiran Akidah

 

Rasional Kalam

 

Tradisional Hadis

 

Tradisional Kalam

 

1

Perbuatan Manusia

Manusia

 

Manusia

Allah Dan Manusia

Allah

2

Kuasa Mutlak Allah

 

Terhad

Allah Maha Kuasa Dan

Bijaksana

 

Allah Maha Kuasa

 

3

Tanzih

Menolak Sifat Dalam Al-Quran Dan Sunnah

Menetapkan Semua Sifat

Dalam Al-Quran Dan Sunnah

 

Menetapkan Sebahagian

Dan Menolak Sebahagian

 

4

Ayat-Ayat Mutasyabihat

 

Takwil

 

Mengimani Sepenuhnya

Dan Tolak Takwil

 

Takwil

 

5

Melihat Allah

 

Mustahil

 

Melihat

 

Melihat

 

6

Hakikat Iman

 

Hati, Ikrar Dan Amal

 

Hati, Ikrar Dan Amal

 

Di Hati

 

Dari table diatas terlihat bahawa Imam al-Syafi’i lebih dekat kepada cara tradisional Asy'ariyyah berbanding dengan cara rasiona Muktazilah. Dari enam topik akidah yang dikaji ternyata satu topik saja sama dengan pandangan Asyariyah, sedangkan tentang tema iman, pada satu sisi Imam al-Syafi’i dekat dengan corak tradisional Asy’ariyah, tetapi pada sisi lain ia dekat pada corak rasional Muktazilah yang memasukkan amal sebagakomponen iman disamping ma'rifat dan ikrar. Namun, ia lebih dekat pada corak tradisional dalam hal bahawa iman tidak dapat hilang kerana dosa besar. Bagaimanapun sebahagian besar pandangan teologis Imam al-Syafi’i lebih dekat pada corak tradisional Asy’ariyah, hanya dalam masalah ayat mutasyabihat Imam al-Syafi’i tidak bersama dengan Asy’ariyah yang lebih cenderung untuk memilih jalan takwil.[36]

4.    Pemikiran Haji Agus Salim

kajian aqidah menurut Haji Agus Salim meliputi tiga hal, yakni tauhid, takdir dan tawakal..[37] Haji Agus Salim memaknai Tauhid sebagai kajian tentang  keesaan Allah. Segala keyakinan tentang qadar (kenyataan dari ketentuan Allah)  dan takdir, yang mewajibkan tawakal dan sabar, semuanya bersumber dari pada ajaran tauhid. Jadi segala sesuatu yang menjadi ketentuan Tuhan mesti atas kehendak-Nya. Haji Agus Salim mengatakan kekuasaan Tuhan atas segala kehendak-Nya sebagai berikut:“Allah berbuat dengan sendiri-Nya, tidak mengharapkan kebenaran dari siapapun dan tidak tertahan oleh barang satu apapun juga. Allah bertindak pada orang yang percaya dan atas orang yang tidak percaya”.[38]

H.     Kesalahan Dalam Akidah Islam

1.    Takut Terhadap Orang-Orang Yang Sudah Mati

Apabila kita berkeyakinan bahwa seandainya menyebut seorang wali dengan keburukan, maka wali tersebut menimpakan bencana pada badannya, harta atau anaknya. Keyakinan ini adalah keyakinan batil, karena yang mengatur alam ini adalah Allah SWT. Kaum muslim tidak boleh menyebut kaum muslimin yang sudah mati kecuali dengan kebaikan, sebagaimana disebutkan dari Nabi Muhammad saw, "Janganlah menyebut orang-orang yang sudah mati kecuali dengan kebaikan."

Beliau juga bersabda,"Janganlah mencaci maki orang-orang yang sudah mati. Karena sesungguhnya mereka telah sampai kepada apa yang dahulu mereka kerjakan." Khauf (takut) merupakan salah satu ibadah hati yang wajib dimurnikan hanya untuk Allah semata.

2.    Membenarkan Dukun dan Peramal

Ada orang yang pergi kepada dukun dan peramal supaya mereka membebaskan sihir yang menimpanya atau mendatangkan kebaikan kepadanya menurut dugaannya. Orang yang merana ini tidak tahu bahwa dengan kepergiaannya kepada mereka, maka ia telah kehilangan timbangan 200 shalat dari timbangan kebajikannya; berdasarkan hadits yang diriwayatan Muslim dalam Shahihnya dari salah seorang Ummahat al Mukminin bahwa Nabi ffi bersabda

"Barangsiapa mendatangi dukun (atau peramal) lalu bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka tidak diterima shalatnya selama 40 malam."

3.  Keyakinan Mengenai Ari-ari

Sebagian petani bila ternaknya melahirkan, maka ia mengambil sepotong ari-ari dan beberapa cakup garam serta mengikatnya dalam kantung terbuat dari kain dan menggantungkan pada leher ternak tersebut, karena berkeyakinan bahwa hal itu dapat melancarkan air susunya.

" Amat buruk apa yang mereka perbuat." (Al-Ma'idah: 55).

4.   Keyakinan Mengenai Darah

U

Ada sebagian orang, ketika menyembelih hewary memasuk-

kan tangannya dalam darahnya dan melumuri rumahnya de-

ngannya, karena berkeyakinan bahwa dengan hal itu keberkahan

akan datang. Semua ini termasuk tradisi jahiliyah. Perbuatan ter-

sebut mengingatkan saya terhqdap bid'ah yang dilakukan bangsa

Mesir tempo dulu, di mana mereka membuang setiap tahunnya

seorang gadis di sungai Nil, sebagai ttrmbal bagi apa yang

diberikannya kepada Mesir berupa air sebagai sumber kehidupan

manusia. Mereka menyebutrya "Perayaan Tumbal Sungai Nil".

Islam telah menggugurkan bid'ah ini. Pada tahun 20 H.

tatkala Mesir ditaklukkao penduduknya datang kepada Amr bin

al-Ash ,#, ketika bulan pengorbanan sudah masuk. Mereka

mengatakan, "Wahai Amir, sungai Nil kami ini memiliki tradisi,

yang tidak mengalir kecuali dengannya."

Ia bertanya, "Apakah itu?"

Mereka menjawab, "Jika dua belas bulan telah berlalu, maka

kami mengambil seorang gadis dari kedua orang tuanya. Lalu

kami meminta kerelaan kedua orang hranya, dan kami mema-

kaikan kepadanya perhiasan dan pakaian terbaik, kemudian kami

melemparkannya di sungai Nil ini.'

Ia mengatakan, "Ini perkara yang tidak berlaku dalam Islam.

Sesungguhnya Islam menghancurkan tradisi sebelumnya."

Selama tiga bulan mereka tinggal di bantaran sungai, semen-

tara sungai Nil tidak mengalir, baik sedikit maupun banyak, se-

hingga mereka tampak bersedih. Kemudian Amr bin al-Ash

menulis surat kepada Umar bin al-Khaththab mengenai hal itu,

maka Umar menulis surat kepadanya, "sesungguhoya kamu telah

melakukan sesuatu yang benar. Aku telah mengirimkan kepada-

mt bithaqah (kartu berisi ttrlisan) kepadamu di dalam surat ini,

maka buanglah di sungai Nil."

 

5.                   Bersumpah dengan Selain Allaht

Ada sebagian manusia yang bersumpah dengan selain Allah

dalam ucapannya, seperti mengucapkary

- Demi kehidupanmu.

- Demi jaminanmu.

- Demi kehidupan dan air laut.

- Demi Nabi.

Semua ini adalah sumpah dengan selain Allah; berdasarkan

hadis yang diriwayatkan al-Hakim dan dishahihkannya/ at-Tir-

midzi dan dishahihkannya serta dishahihkan al-Albani dalam nl-

lnua', dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah # bersabda,

"Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah

sYirik'u

Barangsiapa yang terbiasa dengan sumPah ini maka setiap

kali melakukan kesalahan dan bersumpah dengan selain Allah,

hendaklah ia mengucapkan la ilaha illallah; berdasarkan hadits

yang diriwayatkan Abu Hurairah **l, bahwa Nabi ffi bersabda,

"Barnngsiapa di antara kalian yang ffiengatnkan dalam sum-

palmyn,'Demi Lata dan lJzza', hendaklah ia mengucapkan,'La

ilalm illatlah.' Dan barangsiapa yang mengatakan kepada saln-

batnya, 'Kemarilah, aku akan bertaruh denganmu' , nTnka hendnk-

lah ia menyedekahkan sesuatu."34

6.                   Menentang Qadha'dan Qadar

Sebagian manusia melihat orang yang kaya raya tapi hal itu

tidak menyenangkan baginya, lalu ia mengatakan kata-kata dosa

ini, "Tanganku memotong ekorku tanpa diinginkan." Peribahasa

ini bermakna bahwa Allah tffi tidak bijaksana dalam hal memberi

dan menahan -Mahasuci Allah-, lalu Dia memberi rizki kepada

orang tidak layak diberi rizki dan menghalangi orang yang berhak

mendapatkannya!!" Apakah orang yang mengucapkan demikian

lebih mengetahui tentang orang yang berhak dibandingkan Allah?!

" Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahtua sesungguhnya

Allah melapangkan rizkibagi siapayang dikehendakiNya dan Dia

(yila) yang menyempitkan (rizki itu). Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)

bagi kaum yang beriman. " (Ar-Rum: 37).

 

 



[1]Dendy Sugono Dkk, Kamus tesaurus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 386.

[2] Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2014), h. 27.

[3] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, LPPI, 2013,h.2

[4] Dibyo Widodo, Konsep Pendidikan Aqidah Persfektif Syekh Abdurrazzaq Bin Abdul Muhsin Al Badr dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Aqidah Saat Ini, n.d.

[5] Abu Ammar dan Abu Fati`ah Al Adnani , Mizanul Muslim, Jakarta, Cordova Mediatama, 2009, h.81

[6] Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Op Cit. h.v

[7]Fithria Khusno Amalia et al., “NILAI-NILAI U < LU < AL- ‘ AZMI DALAM TAFSI < R IBN KATHI > R Alquran dan Hadith . 1 Salah satu isi dari kandungan Alquran adalah kisah-kisah terdah ulu ( Qas } as } al- Qur ‟ a > n ) yang memberitakan tentang hal ihwal umat yang telah lalu , nubuwwat ( k”, Vol. 1 No. Juni (2017), hal. 71–77,.

[8] Ahmad Musthafa al- Maraghi, Tafsir al- Maraghi (Bayrut: Dar Al- Kutub al-Ilmiyah, 2006), h. 281-282.

[9] Rois Mahfud, Al- Islam Pendidikan Agama Islam, (Penerbit: Erlangga, 2011), h. 3-5.

[10] Subhan Nurdin, Dasar-Dasar Aqidah Islam (Kairo: Seri Islam Aplikatif Aqidah & Da'wah, 2017), h. 2-3.

[11] Fitriyani, Islam dan Kebudayaan (Ambon: Jurnal Al Ulum, 2012), h. 133.

[12] Kamus Bahasa Indonesia, 2008

[13]Syifa Wasilatul Fauziya dan Agus Nero Sofyan,“http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jpud. Volume 12 Edisi 2 November 2018", h. 311–20.

[14] M. Hasballah Thaib, Dasar-dasar Materi Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi ( Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h.69.

[15] Shinta, Implikasi Paedagogis Qur ’ An Surat Al-Baqarah Ayat 177 Tentang Pendidikan Tauhid (Garu: Jurnal Pendidikan Universitas Garut, 2009), h. 14-20.

[16] Abul Yazid Abu Zaid Al Ajami, Aqidah Islam Menurut Empat Madadhab, 2020, h. vii.

[18] Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Loc.Cit. h.145.

[19] Ibid. h.146.

[20] Ibid. h.151.

[22] Mulyana Abdullah, Meneladani Sifat-Sifat Malaikat Allah Sebagai Bentuk Mengimani Adanya Malaikat Allah, (Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2018), h. 148.

[23] Ibid. h.223.

 

[24] Ibid.

[25] Mulyana Abdullah, Loc.Cit.h.151-153.

[26] Ibid. h.154.

[28] Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Loc.Cit.

[29] Ibid.

[32] Yudhi Prabowo, Sulidar dan Ardiansyah, Wawasan Tentang Taqdir Dalam Hadis ( Medan: At-Tahdis, 2017), h. 2.

[33] Ibid.h. 3

[34] Subhan Nurdin, Loc.Cit. h. 19.

[35] Taufik, Materi Pendidikan Akidah : Studi Atas Pemikiran Syaikh Abdurrahman Siddik (Bangka: 2010), h. 253.

[36] Tamar Jaya Nizar dan Farahwahida Mohd Yusof, Pemikiran Akidah Imam Al-Syafi’i, Jurnal Teknologi Sciences and Engineering (Johor: UTM Press.All Right Resived, 2013), h. 63.

[37] Moh. Qoyyim, Pemikiran Haji Agus Salim tentang Aqidah, Sharîah, dan Ideologi (Gresik: STAI Ihyahul Ulum, 2015. h. 114.

[38] Ibid. h. 115.


Post a Comment

أحدث أقدم